Peran Roh Kudus dalam Pelayanan Konseling sebagai The Comforter dan The Helper

Sebuah Refleksi

Konseling Kristen adalah sebuah panggilan dan pelayanan, bukan sekedar keahlian (skill). Inilah yang membedakan pelayanan konseling Kristen dan sekuler. Saat ini, konseling sekuler banyak menggunakan berbagai terapi dan pendekatan, yang acapkali bertentangan dengan pandangan Alkitab.

Sebagai contoh, teman saya yang menggeluti psikologi secara akademik. Ia pernah memiliki pengalaman, bahwa pada waktu menjadi mahasiswa, ia diajarkan oleh dosennya untuk mengkonseling konseli, dengan hipnotisme. Karena menurut pemahaman sang pengajar, bahwa alangkah mudahnya "mempengaruhi" konseli ketika konseli sendiri dalam keadaan melepaskan diri dari "kesadarannya," sehingga proses konseling bisa lebih mudah masuk. Namun ketika memahami hal ini, apa bedanya proses konseling seperti ini dengan hipnotisme, yang sering kita lihat di televisi, seseorang dipengaruhi melakukan sesuatu, bukan atas dasar kesadaran dan kemauannya, namun karena perintah/pengaruh kata-kata dari si penghipnotis. Dalam hal ini, tentu ditinjau dari sudut etika konseling, seorang konselor tak boleh memaksakan kehendaknya atas diri konseli. Jika hal ini terjadi, bukankah hal itu dapat dikatakan "manipulative therapy."

Contoh pendekatan lain, dimana si konselor dan konseli tak perlu bertatapan langsung, karena konselor bisa melakukan konseling dari jarak jauh, tentu bukan lewat telepon, namun konselor dan konseli dipisahkan dalam ruangan yang berbeda. Konseli bisa membuka dirinya, tanpa harus merasa malu, karena tak dilihat oleh konselor. Konselor hanya mendengar suara si konseli, dan memberikan solusi atau nasihat. Proses konseling seperti ini diharapkan mengeliminasi rasa malu sang konseli. Tentu cara berkomunikasi mereka menggunakan peralatan teknologi tertentu, sehingga mereka tak bertatap muka, namun bisa tetap berbicara. Meski dalam dunia yang makin modern, adakalanya bisa saja, kita melakukan konseling dalam bentuk komunikasi tidak langsung, seperti lewat email, chatting, hotline, dsb ( dimana penulis pun adakalanya menggunakan kemudahan media seperti ini). Namun tentunya alangkah jauh lebih efektif, jika konseling dapat dilakukan secara langsung bertatap muka. Jika proses konseling, hanya dalam pengertian membuka diri namun dalam "ketertutupan," menghindari rasa malu terhadap konselor, bukankah dalam ini unsur relationship (hubungan ) dan building trust (membangun saling percaya) tidak ada di dalamnya.

Sebagai konselor Kristen, kita membutuhkan peran dan pertolongan Roh Kudus (The Comforter) sebagai Penghibur, sekaligus Penolong (The Helper). Sering dalam keterbatasan manusiawi kita, kita tak mampu memahami kedalaman perasaan konseli, mengerti sejauh mana kejujuran konseli, dan bagaimana kita mengharapkan konseli mengalami perubahan dalam hidupnya. Ketika kita hanya mengandalkan kemampuan, pengetahuan dan keahlian kita sebagai konselor, betapa seringnya kita menjadi frustasi karena kita mendapatkan sebuah kenyataan, betapa sulitnya konseli "menjadi" seperti yang kita harapkan. Tak ada seorangpun yang bisa mengubah manusia, selain Allah sendiri. Di sinilah dibutuhkan kerendahan hati dari diri sang konselor, bahkan ia tak mungkin hanya bergantung pada kamampuannya sendiri. Konselor membutuhkan "The Helper" yaitu Roh Kudus. Sebagai konselor kita selalu perlu mengingatkan diri sendiri, bahwa kita bukan problem solver (pemecah masalah), namun hanya the helper (penolong- huruf kecil). The helper membutuhkan The Great Helper.

Kita, sebagai the helper, bisa mengalami burn out. Di sanalah kita selalu membutuhkan "recharging." Ketika signal-signal komunikasi kita melemah, baterei semangat kita mulai low, bahkan kualitas pembicaraan kita tak terdengar jelas dan jernih (dimana sebenarnya konseli pun bisa merasakannya)., itulah saat nya kita perlu "Pause" (berhenti) sejenak. Kita perlu berdiam (solitude), kita perlu mendengarkan (listening) dan mohon kuasa (power) dari Roh Kudus.

Kita perlu mengijinkan Roh Kudus mengencounter pribadi dan karakter kita: kesombongan, sikap hanya bersandar pada diri sendiri (self-reliance) dan meremehkan pribadi dan masalah konseli. Adakalanya jam terbang yang tinggi dari pengalaman kita sebagai konselor, membuat kita terjebak dalam arogansi dan generalisasi.

"Konselor juga manusia" (saya ingin menciptakan lagu tersebut). Ia butuh dihibur, ketika harus menghibur banyak orang. Ia pun butuh ditegur, karena ia pun sering menegur konseli dalam teknik konfrontasi. Ketika kita mengijinkan Roh Penghibur, sekaligus Penegur, bekerja bebas dalam diri kita dan memakai kita, maka konseling, akan menjadi pengalaman yang memperkaya hidup kita; Roh Kudus akan banyak membuka banyak pengertian kita, mengerti siapa kita dan siapa konseli, dalam perspektif ilahi, dengan nilai kristiani, dan menjadikan konseling bukan hanya sebagai profesi, namun kita menggali banyak berkat rohani.


0 komentar:


 

Copyright 2006| Blogger Templates by GeckoandFly modified and converted to Blogger Beta by Blogcrowds.
No part of the content or the blog may be reproduced without prior written permission.